Karena Semua Hanya Ingin Serba Instan



Apa masalah sepakbola Indonesia? Jikalau ada 100 orang dalam suatu ruangan lalu diberi pertanyaan tersebut, akan banyak variasi jawaban yang akan tercetus. Saking banyaknya permasalahan yang ada dalam sepakbola Indonesia. Tetapi ada salah satu masalah yang lahir karena buah hasil dari kehidupan kita dalam bermasyarakat, yakni malas berproses atau serba instan. Mengapa demikian?

Kilas balik dalam ajang Liga1 2017 yang lalu. Ada regulasi yang mengharuskan setiap klub memainkan pemain U-23 sebanyak tiga orang sejak menit awal dengan durasi bermain minimal 45 menit. Hal itu menunjukkan bahwa PSSI hanya memberikan solusi instan untuk Luis Milla agar bisa mencari pemain untuk keperluan Sea Games kala itu. Toh pada akhinya, pada saat Sea Games berakhir, regulasi tersebut ditangguhkan.

Hal ini menunjukkan bahwa PSSI tidak punya langkah berjenjang untuk membentuk timnas kelompok usia. Hampir semua pemain timnas kelompok usia muda, melalui proses seleksi jangka panjang hingga akhirnya terbentuk sebuah timnas. Kembali lagi sebuah proses yang instan karena pemain-pemain tersebut pun bukan berasal dari klub-klub peserta Liga, melainkan berasal dari SSB atau sekolah atlet macam Diklat Ragunan. Seolah kegagalan demi kegagalan timnas belum cukup menampar wajah PSSI.

Melirik apa yang dilakukan Federasi Sepakbola Jerman (DFB) setelah gagal total pada Euro 2000, DFB menyiapkan sebuah rencana jangka panjang yang hasilnya bisa dilihat dekade kebelakang. Itu adalah buah hasil dari kesabaran DFB membenahi setiap aspek mulai dari infrastruktur hingga pelatih. Ada kurikulum tersendiri agar pengembangan bakat pemain bisa selaras dengan kebutuhan timnas. Bukti lain dari efektifnya kebijakan ini adalah Jerman seolah tidak pernah kehabisan stok pemain di setiap lini nya dan bahkan menjuarai Piala Konfederasi hanya dengan ‘tim kedua’nya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sudah menjadi rahasia umum bahwa kita adalah bangsa yang tidak sabaran dan ingin semua serba instan. Kuliah mau dapat nilai bagus? Tidak mau belajar. Mau kaya? Gamau capek kerja. Kerja ojek online? Pakai fake order. Dan berbagai macam hal-hal serupa lainnya dalam masyarakat yang jika dikaitkan dengan sepakbola, sama persis. Jika berbicara di level klub, klub hanya mengontrak pemain untuk satu musim dengan kata lain demi kesuksesan untuk musim itu saja. Naturalisasi pemain untuk mengakali regulasi, punya klub usia muda namun hanya untuk keperluan regulasi, bukan pembinaan. Serta hal-hal lain yang mungkin masih bisa disebutkan.

Hal ini berdampak hingga ke level timnas. Tidak adanya tim usia muda yang berjenjang dari klub peserta liga (saat ini klub Liga1 hanya punya U-19) atau kompetisi yang mewadahinya, membuat timnas kesusahan untuk mencari sumber daya pemainnya. Hingga akhirnya muncul cara-cara seperti yang dilakukan Indra Sjafri yakni dengan blusukan ke daerah-daerah untuk mencari pemain untuk timnas usia muda. Setelah itu baru ketika berprestasi, pemain-pemain tersebut dilirik ke klub-klub peserta Liga untuk dikontrak. Tentunya ada hal yang aneh ketika malah timnas yang menyumbang pemain untuk klub, bukan sebaliknya.

Hidup di negara yang memiliki penduduk dengan gairah sepakbola yang tinggi, sudah seharusnya selaras dengan kualitas sepakbola yang diberikan. Semua ingin timnas yang berprestasi, bisa berbicara banyak di Asian Games nanti, Juara Piala AFF, bisa lolos Piala Asia lagi, masuk Piala Dunia dan mimpi-mimpi lainnya yang diimpikan oleh para suporter yang sudah lelah untuk bermimpi. Belum ada keseriusan dari PSSI untuk benar-benar mengembangkan sepakbola Indonesia ke arah yang benar (eh ditambah ketuanya nyagub!). Belum ada usaha untuk membangun sebuah fondasi timnas senior sejak pemain masih sangat muda, ah nampaknya saya malah bermimpi. Untuk membuat regulasi liga yang tetap dan tidak berubah tiap tahun saja sulit, apalagi bicara sejauh itu. Selama tidak mau untuk berproses dan berpikir panjang, maka Timnas Indonesia akan selalu menjadi candinya Bandung Bondowoso yang selalu berusaha untuk dibangun dalam semalam dan tak akan pernah sukses.

Komentar